Dead House

tumblr_lzz7n9GnXg1rq77zyo1_500

 

title; Dead House

by lilvitamin

length; vignette // genre; AU, sad // rating; PG

((note: from a poet with same title, Dead House. thanks angelclumsy for betaing this thing, ilaaaabyu! anyway, hehe. saya baru di sini, mohon bantuannya (_ _)b lastly, enjoy! ^^))

Derit lantai kayu terdengar kala aku menjejak di antaranya. Ragu, namun kuputuskan tetap melangkah. Rumah ini berubah sama sekali. Semuanya hitam. Derak-derak kayu yang kupijaki berubah layaknya melodi dalam telinga. Dalam ruangan ini, tidak ada satu mebel pun berpindah tempat kendati parasnya poranda.

Meja mahoni bundar tempat cangkir teh biasa kuletakkan ketika aku membaca buku juga masih di sana. Menghitam. Rapuh. Buku-buku dalam rak bernasib sama. Aku seperti berdiri di dalam kubang monokromatis—hitam dari abu dan putih oleh seberkas cahaya matahari yang malu-malu merambat dari jendela.

Kenapa aku masih di sini?

Memijak mundur, perlahan aku berbalik. Derit-derit parau mengekor. Kulihat pita kuning melilit pagar kayu di depan. Aku telah sekali melihatnya tadi, sebelum memutuskan mengunjungi kediaman yang  tak bernyawa ini. Garis kuning kepolisian. Tadi, kupandang lama sekali lilitan pita itu.

Aku tak seharusnya berada di sini.

Tubuhku sekonyong berubah haluan. Perlahan melewati ruang tengah, menaiki tangga. Harusnya anak-anak tangga yang kelewat rapuh itu tak mampu menopangku.

Anak tangga terakhir kutinggalkan. Menatap lorong lantai dua, pijakanku serasa dilem dengan perekat superkuat. Aku terenyak di tempat. Pigura-pigura masihlah tergantung di sisi-sisi yang seharusnya; aku ingat lantaran memang aku yang meletakkannya. Tanganku terangkat, bergetar mengusap kaca pigura. Dibalik kaca yang retak, gambar itu masih sepenuhnya utuh.

Potret diriku dan dia. Potret diri kami.

Masih banyak potret-potret lain. Dulu, hasil jepretannya yang kurasa paling bagus kupigurakan. Lainnya hanya menghabiskan laman album foto. Entah, sekarang mungkin telah mengabu. Jika selamat, meski kemungkinannya satu banding seribu, paling-paling parasnya yang berubah sefia.

Sebuah telundakan membuatku sedikit terjerembab. Aku tercekat sesaat. Tubuhku meringsut, menyelaraskan pandangan dengan gumpalan hitam yang barusan kupijak. Itu… Boo. Benda serupa arang yang kemudian kukenali sebagai kucing peliharaan kami itu membuatku memekik tertahan. Aku tersungkur menjauh. Terseok-seok berusaha berdiri.

Air asin itu buru-buru meluruh, membasahi pipi.  Mengalir begitu saja. Deras. Tak kunjung berhenti meski berkali-kali kutampik dengan bengis. Kedua kaki ini melangkah tanpa sempat kuhadiahi perintah. Aku digiringnya ke penjuru lain di rumah ini. Ke sebuah kamar yang tak lagi berbentuk kamar. Hanyalah bilik berwarna hitam seluruhnya. Lantainya berselimut duli tebal.

Aku tenggelam dalam sedu lirih yang sama sekali tak mampu kuhentikan.

Aku bukannya sedih. Bahkan keadaan dramatis ini harusnya mampu mengoyak nurani. Aku hanya takut. Takut menyadari bahwa semua ini nyata. Semuanya bukan lelucon.

Angin pagi membuat jalan air di pipi mengering. Angin itu juga yang membuat jendela-jendela reyot bersuara menderit-derit, serupa ganti dari kicauan burung yang enggan bersenandung. Suara decit-decit itu mengantarku kembali ke lantai bawah, bahkan hingga kembali ke depan pintu.

“Soojung?”

Suara bariton itu menggantung di udara. Figur ringkih berdiri di sana dengan kuyu. Tak hanya rumah ini, ia pula berubah sama sekali. Kantung terlihat menggelambir di bawah matanya. Aku urung bersuara. Namun diam-diam menjumput sisa-sisa suaranya, menyimpannya di tempurung kepala. Agar suatu saat dapat terkenang sebagai satu memori.

“Itu sungguh kau.” Dalam getir suaranya lamat-lamat terdengar kelegaan. Ada satu sisi dari suaranya yang membuatku merasa damai. Aku selalu tak dapat menebak atau mengetahui apa itu. Biar jadi rahasia Tuhan, pikirku. Aku akan sangat merindukan suara itu. “Aku tahu kau pasti datang ke rumah ini,” ucapnya lagi.

Mulutku terbuka, namun tak terdengar suara apa pun.

“Kukira kau—” Lelaki itu menengadah sebentar. Tampak berusaha mencegah jatuhnya air mata, tetapi sia-sia. Ia tersengal di hadapanku. “—tidak akan kembali,” sambungnya. Ia menjejalkan isak yang hampir kasat mata dalam kalimatnya yang lamat kumengerti kemudian.

Atmosfer kelegaan itu luruh saat kupaksakan bersuara, “Aku memang tak kembali, Oppa.” Aku bukannya ingin merusak ketentraman yang sejenak kujumpai kembali. Malah ingin sekali mengabadikannya.

Tapi, Tuhan, kali ini ijinkan dia menahanku untuk tetap di sini.

Third person’s POV.

Kesenyapan seolah berlangsung abadi. Sementara Jung Soojung tenggelam dalam jelaga kesunyian, Kim Myungsoo—lelaki itu—termangu di tempatnya. Berusaha perlahan mencerna frasa yang baru saja diucapkan Soojung. Jika gadis itu tidak kembali, lantas mengapa ia di sini? Mengapa Myungsoo jelas-jelas melihatnya?

Soojung berada di hadapannya sekarang. Ia percaya figur itu bukan semata-mata buah imajinasinya.

“Aku hanya kebetulan mampir.” Soojung tak bermaksud bergurau dan kalimat barusan juga tidak terdaftar dalam suatu kejenakaan, maka ia sejenak ragu kembali untuk bersuara.

Sejatinya, bertemu dengan lelaki ini bukan termasuk dalam daftar hal-hal yang hendak Soojung sambangi sebelum ia pergi. Bahkan melihat potretnya saja, ia menggigil tidak karuan. Memangnya bagaimana Soojung dapat berpaling dari iris gelap yang hangat itu? Rumah ini, yang sekarang lantai terasnya ia pijaki, selalu jadi tempatnya pulang. Tak peduli berapa lama ia pergi, ia akan tetap pulang ke rumah ini. bertemu si pemilik yang, Soojung tahu, akan selalu membuka pintu kayu jati itu untuknya.

Tetapi ada satu saat, di mana Soojung pergi lama sekali. Namun, ia tidak pulang. Tidak menemui Myungsoo. Tidak pula repot-repot menebus jarak bermil-mil di antara mereka dengan biaya pesawat telepon yang terbilang tidak murah. Myungsoo juga tidak bertanya kabar Soojung. Berusaha menghubunginya atau membujuknya agar pulang pun tidak.

Namun, ketika keduanya memutuskan untuk mengalah dan kembali bertemu, Soojung menyesalinya. Menyesal lantaran mengapa ketika ia pulang, Myungsoo tak membukakan pintu untuknya, hanya menyapanya dari balik selimut. Myungsoo sakit, kalimat lirih itu ia dengar dari teman dekat Myungsoo yang selama ini merawatnya, Lee Sungyeol.

Adalah kebodohan Soojung menangisi tiap dentang waktu yang terlewat semata untuk berpikir hal-hal sama berulang kali: haruskah ia pulang, apa yang harus ia ucapkan saat ia pulang, apa kesalahannya, apa yang sebenarnya lelaki itu pikirkan. Malah sekali ia berpikir bahwa yang tidak dewasa di antara mereka ialah Myungsoo. Asumsi itulah yang kemudian mendepaknya sendiri, hingga ia terjungkal lantas ditertawakan oleh kesempatan yang tersia-sia.

“Maaf, Soojung, aku—”

“Justru aku yang harusnya memohon kau memaafkanku. Harusnya aku tidak pergi,” potong Soojung, dengan suara terlampau pelan.

Myungsoo menggenggam ujung sweater tebal yang membentenginya dari dingin yang menggigit. Bukan, harusnya aku menahanmu.

“Kupikir—” Soojung menepis air yang bermuara dari pelupuknya. “Aku tidak mengerti. Waktu berlalu begitu saja. Perlahan mengikis sisi kerasionalan diriku. Hari-hari banyak kulewatkan dengan terus berpikir. Sampai saat kau harus pergi, harusnya aku menebus rasa sesalku dengan menangisimu sepanjang hidupku. Kemudian, aku tahu itu tidak baik.

Aku bukannya bermaksud menghapus segala jejak yang kita ukir, Oppa. Jinri bilang, tidak baik berlarut-larut dalam duka. Aku- kuharap sesalku akan hilang begitu kubakar kenangan ini. Berusaha tetap menyongsong masa depan dengan luka kasat mata yang menganga. Bahkan aku tak kembali ke sini bertahun lamanya. Ternyata aku salah. Sesal itu makin merebak.”

Senyap lagi. Soojung benci kebungkaman yang lagi-lagi melanda mereka.

“Aku lega kau datang.”

Bukan itu! Bukan itu yang Soojung harapkan.  Ia berharap Myungsoo mengutuknya seumur hidup dan bukan senyum tulus yang ia rindukan itu yang muncul.

Soojung menampik air matanya kembali. Bayangan Myungsoo memudar. Ia benci ini. Ia berharap ini mimpi dan seseorang harus segera membangunkannya. Gadis itu berteriak dalam hati, mulutnya bungkam untuk mengatakan barang sepatah kata. Berusaha tetap membuka matanya meski angin terus menuntutnya agar berkedip. Pedih.

Soojung mengerjap dan figur itu tak lagi di sana. Meninggalkannya dengan desau angin dan derit parau jendela-jendela.

.

.

.

-end

18 responses to “Dead House

  1. hai, lilvitamin 🙂
    selamat datang di fmsj 🙂 *greeting from a reader* *plaked* XD
    sekali lagi ff-mu keren! aku suka diksimu, seperti biasa. bikin aku ikutan sedih karena ternyata myung meninggal disinii, apalagi ditambah baca puisinyaa.
    overall, welcome to fmsj 😀

  2. pas baca saya tahu ada yang mati, tapi bingung yang mana.. hhe.. tapi makin ke bawah, penjelasan tersiratnya bikin saya angguk2.. oh ketemu hantu Myung ternyata.. saya ikutan sedih bacanya.. feelnya nampol.. bahasa puisi nya bagus,, meski bny diksi kiasan tp ga bkin bingung yang baca.. *jempol*

  3. Hey Halo! Kita ketemu lagi!
    Sebenernya baca ini dapet rekomendasi hehe, dan wah! kenapa kamu enggak berenti bikin aku takjub, deh. Pertama kali baca ficmu yang Runaway itu juga sama feelnya kayak gini. Bahwa masih ada diksi seindah ini buat dirangkai dan penulisnya Myungsoojung banget. Ahahaha senangnyaaa!

    Sepanjang baca ini itu rasanya ngalir. Alurnya gak menyumbat pikiran, pun sama semua kata yang kamu susun di sini. Semua latar juga simple tapi ngebekas, persis sama konflik cerita kamu yang apik. Ini vignette yang lurrrf it!

    Pokoknya, aku terhibur banget baca ini di pagi hari, dan btw ini fic pertama yang kubaca hari ini, hehehe. Lain kali mungkin kita bisa kenalan! Aku Dhila dari line 98! Aku baru ngestalk komen Runaway tadi, nama kamu Amel dari line 98 juga, kan? SALAM KENAL YAAAA. Aku jatuh cinta sama karyamu! 😉 😀

  4. Halo Livitamin. Hehehe kayaknya ini pertama kali deh aku baca ff kamu, memukau sekali.

    Aku suka!

    Aku suka sama gaya menulis kamu. Ringkas alias gak bertela-tele, tapi to the point! Hahaha. Lalu, detil-detilnya juga duh, imajinasiku lancar jaya di sepanjang cerita. Mengenai feel, aku juga kebawa banget. Sedih, penyesalan, galau, nyeseknya aku ikut merasakan.

    Meski kamu menyampaikan cerita ini secara tersirat, tapi deskripsi kamu gak bikin pembaca kebingungan karena kamu membuat deskripsi dengan sedemikian runut, ada hint-hint yang kamu selipkan di setiap kalimat sehingga pembaca bisa nebak cerita ini mengarah ke mana.

    Good Job!

    Well, sekian komen dari aku. Keep writing ya! Me love this!!!

  5. hai… aku reader baru…
    ff ini keren! terinspirasi dari puisi? boleh minta puisinya? :3
    oh ya vignette itu durasi yang terdiri dari berapa kata?
    masih baru hehe. salam kenal fmsj…

  6. keren banget yay! ><
    pas awal baca udah feeling sih pasti ada yg meninggal dan yg meninggal pasti myungsoo karena belum pernah saya baca ff yg soojungnya meninggal wkwkwk pengen deh kali-kali baca yg soojungnya yg meninggal *eh ._. sempet bingung dikit sih waktu tiba-tiba ada myungsoo disitu. Tapi lama-lama ngeh juga kalo itu cuma jin(?). Keren banget ya soojung gak takut xD /plak
    Oiya itu myungsoo meninggalnya gara-gara apa? sakit atau kebakaran? soalnya ada garis polisi dan rumahnya item, sama si boo. Tapi dibawahnya katanya myungsoo sakit. Jadi rada bingung ._.
    tapiiiii overall bagus banget! selain suka myungstal gara-gara mereka itu adorablenya luar bisa asdfghjkl banget, yg saya suka lagi SEMUA ff myungstal itu keren-keren dan enak dibaca. kaya baca novel. Seriusan gak bohong….
    Keep writing myungstal yaaa~ Semangat!

    • Halo~~~ makasih ya sudah baca fiksiku.

      Myungsoo di sini meninggalnya karena sakit, terus karena Soojung mau ngelupain (ceilah), dia bakar rumahnya itu. Gitu deh. Klise emang, lol.

What Do You Think? Write Down Here!